JAKARTA | BritaHUKUM.com : Kejaksaan Agung (Kejagung) saat ini tengah melakukan uji coba penerapan Keadilan Restoratif atau Restoratif Justice (RJ) secara Mandiri.
Keadilan Restoratif atau Restoratif Justice (RJ) Mandiri adalah penyelesaian perkara di luar pengadilan, yang dilaksanakan secara Mandiri oleh masing-masing kantor kejaksaan tinggi (Kejati).
“Masih tahap uji coba,’ ujar Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung (Kejagung), Prof Dr Asep Nana Mulyana SH MHum, saat dikonfirmasi wartawan di Jakarta, Kamis (08/8/2024).
“Baru Kejati Jawa Timur (Jatim) dan Kejati Sulawesi Selatan (Sulsel),” lanjut mantan Dirjen PP Kemenkumham RI itu.
Sementara itu informasi yang dikumpulkan wartawan menyebutkan bahwa Kejati Jatim sudah melaksanakan penerapan Keadilan Restoratif atau Restoratif Justice (RJ) secara Mandiri.
Pelaksanaan RJ Mandiri itu berdasarkan surat Jampidum nomor: B-3114/E/Roh.2/07/2024, perihal penunjukan Kejati Jatim sebagai pilot project pelaksanaan Keadilan Restoratif atau Restoratif Justice (RJ) secara Mandiri.
Berdasarkan surat itu, Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jatim, Dr Mia Amiati SH MH CMA CSSL, memimpin ekspose 12 perkara permohonan penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif atau Restoratif Justice (RJ).
Adapun permohonan RJ itu diajukan oleh Kajari Surabaya, Kota Probolinggo, Kajari Ngawi, Kajari Jombang, Kajari Tanjung Perak dan Kajari Kabupaten Mojokerto.
Sedangkan 12 perkara yang dihentikan penuntutannya meliputi
• 4 perkara penadahan yang memenuhi unsur Pasal 480 ke-1 KUHP, diajukan oleh dari Kejari Surabaya (1 perkara) :
• Kejari Jombang (2 perkara).
• 2 (dua) perkara pencurian yang memenuhi unsur Pasal 362 KUHP, diajukan oleh Kejari Kota Probolinggo dan Kejari Ngawi;
• 3 (tiga) perkara penipuan atau penggelapan yang memenuhi unsur Pasal 372 jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Atau Pasal 378 jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, diajukan oleh Kejari Tanjung Perak (3 perkara)
• 3 (Tiga) Perkara Penyalahgunaan NARKOTIKA :
Diajukan oleh Kejari Surabaya (1 perkara) dan Kejari Tanjung Perak (2 perkara). dimana perbuatan tersangka diatur dan diancam pidana dalam pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika
Penyelesaian perkara pidana melalui mekanisme penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif menjadi bukti bahwa negara melalui penegak hukumnya hadir memberikan humanisme dalam penegakan hukum dalam rangka menciptakan rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat.
Melalui kebijakan restorative justice, diharapkan tidak ada lagi masyarakat bawah yang tercederai oleh rasa ketidakadilan Meskipun demikian, perlu juga untuk digarisbawahi bahwa keadilan restoratif bukan berarti memberikan ruang pengampunan bagi pelaku pidana untuk mengulangi kesalahan serupa.
Untuk itu, permohonan pengajuan Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif tersebut harus memenuhi syarat sebagai berikut:
• Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana yang ancaman pidananya tidak lebih dari 5 tahun penjara;
• Telah ada kesepakatan perdamaian antara Korban dan Tersangka dan hak korban terlah dipulihkan Kembali serta masyarakat merespons positif dan khusus untuk Perkara Penyalahgunaan Narkotika, penghentian penuntutan harus mempertimbangkan bahwa tersangka hanya sebagai penyalahguna narkoba untuk dirinya sendiri (end-user);
• tersangka tidak berperan sebagai produsen, bandar, pengedar dan kurir terkait jaringan gelap narkotika;
• Tersangka bukan merupakan residivis kasus narkotika ;
• Tersangka tidak pernah dimasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO);
• Sudah ada Surat Rekomendasi Tim Asesmen Terpadu BNNK setempat dan tim dokter yang menyatakan dan kesimpulan terhadap tersangka layak untuk direhabilitasi. (bha/kp)