SAMARINDA | BritaHUKUM.com : Kepala Kejaksaan Negeri Samarinda, Firmansyah Subhan, S.H., M.H. didampingi oleh Kepala Seksi Tindak Pidana Umum, Muhammad Idham Syam, S.H., M.H. dan Jaksa Fasilitator telah melaksanakan ekspose (pemaparan) perkara Restorative Justice kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM PIDUM) Kejaksaan RI secara online melalui media Zoom Meeting dari ruang Lamin, Kantor Kejaksaan Negeri Samarinda.
Kepala Kejaksaan Negeri Samarinda, Firmansyah Subhan, S.H., M.H. didampingi oleh Kepala Seksi Tindak Pidana Umum, Muhammad Idham Syam, S.H., M.H. dan JaksaFasilitator Melati Warna Dewi, S.H., M.H, gelar ekspose dengan JamPidum, Senin (29/7/2024). (Foto: ig.kejari)
Adapun permohonan penghentian penuntutan berdasarkan Restorative Justice yang diajukan adalah atas 1 (satu) perkara atas nama Tersangka berinisial MH
yang disangka telah melanggar Pasal 480 Ayat (1) KUHP tentang Tindak Pidana Penadahan.
Sebelumnya proses penyelesaian perkara di luar pengadilan antara korban dan tersangka yang dimediasi oleh Jaksa Fasilitator, Melati Warna Dewi, S.H., M.H. melalui upaya Restorative Justice telah dilakukan pada Rabu, 17 Juli 2024 di Rumah Restorative Justice Kejaksaan Negeri Samarinda.
Dalam pemaparan dengan JamPidum yang
menghasilkan kesepakatan untuk berdamai tanpa syarat dan saling memaafkan antara Korban dan Tersangka.
Hadir dalam kegiatan ekspose, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan RI yang diwakili oleh Direktur Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda (Dir TP OHARDA), Nanang Ibrahim Soleh, S.H. M.H..
Atas nama Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, S.H., M.Hum., Dir TP OHARDA telah menyetujui Permohonan Penghentian
Penuntutan, kemudian untuk selanjutnya Kepala Kejaksaan Negeri Samarinda akan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2).
Kasi Inteljen Kejari Samarinda, Erfandy Rusdy Quiliem, S.H, M.H. menambahkan,
Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:
•Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;
• Tersangka belum pernah dihukum.
• Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana.
• Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun.
• Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya.
• Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi.
• Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar. (bha/ig.kejari/agazali).