JAKARTA | BritaHUKUM.com : Jaksa Agung Burhanuddin melalui Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jam Pidum) Kejaksaan RI, Fadil Zumhana, menyetujui sebanyak 15 perkara pidana umum untuk dihentikan penuntutannya berdasarkan Keadilan Restoratif atau Restoratif Justice (RJ).
Jaksa Agung Burhanuddin (Ft: Istimewa)
Kapuspenkum Kejagung, Ketut Sumedana, kepada wartawan di Jakarta, Rabu (31/1/2024), mengatakan bahwa 15 perkara dihentikan penuntutannya sebenarnya telah dilakukan gelar perkara (ekspose) secara virtual yang dihadiri Jampidum Fadil Zumhana.
Perkara-perkara tersebut adalah :
1.Tersangka Fahmi bin M. Nur Ap M. Jafar dari Kejaksaan Negeri Bireuen, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
2. Tersangka Mujiburrahman bin Mustafa dari Kejaksaan Negeri Bireuen, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
3. Tersangka Basri Alang alias Papa Hayat dari Kejaksaan Negeri Morowali, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
4. Tersangka Muna Muzaila binti Ahmad Zakki dari Kejaksaan Negeri Bojonegoro, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
5. Tersangka Achmad Hariyanto alias Heri bin Kusnadi dari Kejaksaan Negeri Kabupaten Malang, yang disangka melanggar Pasal 29 jo. Pasal 45B Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 sebagaimana Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Pasal 335 Ayat (1) KUHP tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan.
6. Tersangka Hasan Amirin Damar Jati dari Kejaksaan Negeri Kota Malang, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
7. Tersangka Doni Adi Putra bin Samsul Huda dari Kejaksaan Negeri Nganjuk, yang disangka melanggar Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.
8. Tersangka Sutomo bin Loso dari Kejaksaan Negeri Kota Mojokerto, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
9. Tersangka Ongkie Wijaya anak dari Eddy Harsono dari Kejaksaan Negeri Tanjung Perak, yang disangka melanggar Pertama Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau Kedua Pasal 45 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau Ketiga Pasal 44 Ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
10. Tersangka Lamek Sauyai dari Kejaksaan Negeri Sorong, yang disangka melanggar Pertama Pasal 44 Ayat (1) jo. Pasal 5 Huruf a Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau Kedua Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
11. Tersangka Yunus Gideon Wanane dari Kejaksaan Negeri Sorong, yang disangka melanggar Pertama Pasal 44 Ayat (1) jo. Pasal 5 Huruf a Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Subsidair Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
12. Tersangka Arman bin Imran dari Kejaksaan Negeri Wakatobi, yang disangka melanggar Pasal 80 Ayat (1) jo. Pasal 76C Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
13. Tersangka Harmawan alias Eki bin Samsul dari Kejaksaan Negeri Baubau, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
14. Tersangka I Yunus Rubiansyah bin Siman dan Tersangka II Cahya Dwi Prasetya als Cipes bin Hariyanto dari Kejaksaan Negeri Surabaya, yang disangka melanggar Pasal 170 Ayat (2) KUHP tentang Pengeroyokan atau Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan jo. pasal ke 55 Ayat (1) ke 1 KUHP.
15. Tersangka I Elang Mulia Meunasah als Elang dan Tersangka II Hasan Anies dari Kejaksaan Negeri Malang, yang disangka melanggar Pasal 170 Ayat (2) KUHP tentang Pengeroyokan atau Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan jo. pasal ke 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.l
Ketut Sumedana juga mengatakan alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini, antara lain:
– Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;
– Tersangka belum pernah dihukum;
– Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;
– Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun;
– Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;
– Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;
– Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;
– Pertimbangan sosiologis;
– Masyarakat merespon positif.
Jampidum Fadil Zumhana selanjutnya memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif atau Restoratif Justice (RJ), jelas Ketut.
“Hal ini sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” ujar Fadil Zumhana. (beha/kp/agazali).