JAKARTA | BritaHUKUM.com : Kejaksaan Agung (Kejagung) melalui Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Fadil Zumhana menyetujui 6 perkara pidana umum dihentikan penuntutannya berdasarkan Keadilan Restoratif atau Restoratif Justice (RJ) 2 diantaranya dari Kejari Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Ket Foto: Jam-Pidum Fadil Zumhana. (Foto: Istimewa)
Kapuspenkum Kejagung, Ketut Sumedana, Selasa (19/12/2023), menyebutkan, bahwa sebelumnya terhadap keenam perkara tersebut telah dilakukan gelar perkara (ekspose) secara virtual.
“Ekspose secara virtual itu dihadiri Jampidum Fadil Zumhana,” ujar Ketut Sumedana.
Keenam perkara itu adalah :
1. Tersangka Muhammad Paisal bin Sarnuni dari Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Tengah, yang disangka melanggar Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
2. Tersangka Fahriadi alias Garandong bin M. Talhah (Alm) dari Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Tengah, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
3. Tersangka Ni Ketut Mareta Anastasya dari Kejaksaan Negeri Bangli, yang disangka melanggar Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
4. Tersangka Shandi Kurnia Pratama bin Alfikri dari Kejaksaan Negeri Ogan Komering Ulu, yang disangka melanggar Pasal 363 Ayat (1) ke-1, ke-4 KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan Jo. Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.
5. Tersangka Pendi bin (Alm) Welas dari Kejaksaan Negeri Ogan Komering Ulu, yang disangka melanggar Pasal 480 Ayat (1) KUHP tentang Penadahan.
6. Tersangka Agustinus bin Suwarno dari Kejaksaan Negeri Lampung Tengah, yang disangka melanggar Pasal 310 Ayat (4) dan (2) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:
– Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;
– Tersangka belum pernah dihukum;
– Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;
– Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
– Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;
– Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;
– Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;
– Pertimbangan sosiologis;
– Masyarakat merespon positif.
Selanjutnya, Jampidum Fadil Zumhana memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif.
“Hal ini sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” pungkas Fadil Zumhana. (beha/kp/rls/agazali)